Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Warisan Bapakku: Cita-cita Belum Tercapai

Bapak dan ibu || Jamin Nababan - Kerti Lumban Toruan

Hari ini aku goreskan tulisan ini sebagai tanda sayang sekaligus pengingat akan seorang bapak. Aku ingat bahwa aku pernah ada bapak yang mendampingi walau hingga batas usia remaja. Aku ingat bahwa aku pernah disayangi dan menjadi manusia utuh hari ini karena adanya peran dan serta bapak dalam merintis membesarkan aku dengan penuh kasih sayang. Bapakku adalah pelopor hidupku pertama didunia ini sebagai perpanjangan tangan Tangan Tuhan dalam merawat dan memberi pendidikan. Walau belum pernah menjadi motivator karena usianya terbilang pendek. Bapak terbilang mati muda dan aku masih remaja di tinggal pergi. Belum mengerti dan mengalami banyak peran sosok bapak dalam pencapaian hidup.



Saat itu usiaku sekitar 18 tahun, beliau berjuang dengan penyakit yang menyerang tubuhnya. Saya yakin dengan berat hati ia harus meninggalkan kami dalam kelam. Tapi jalan hidupnya harus seeperti itu untuknya dan untuk kami sebagai pusat kebanggaannya. Aku tahu bapak adalah seorang pejuang hebat, gigih dalam bekerja. Entah bagaimana ia mengawali semuanya dan akhirnya menjadi seperti ini.


Atas kerja keras dan pencapaiannya kala hidupnya, membuatnya jadi tersohor didaerahnya. Tak pelak berkat kegigihannya tersebut mengantarkan kami kepada kebebasan finansial dan terbilang mapan. Menikmati masa remaja kala itu terbilang enak (itu bagi saya). Dan itu semua atas berkat Tuhan dan kerja keras kedua orang tua dan termasuk dari salah satu saudara kandung. Menurut abang-abangku, bapakku  merintis usaha dimulai dari nol hingga bisa menangani bisnis keluarga yang terbilang maju. Walaupun abang-abang, sebelum memulai usaha mereka masih mengalami kesusahan, bahkan saat-saat mulai merintis, pada kenyataannya mereka bisa hidup lebih baik setelah melewati masa transisi itu. Mengapa saya bilang mereka? Di usia kanak-kanak saya tidak mengalami seperti yang mereka alami. Setelah tahu dengan uang, ya udah enak saja kitanya mah. Tinggal minta, pasti dikasih. Abangkulah yang merasakan sakitnya diawal merintis usaha tersebut. Itu dari cerita mereka.


Bapak memulai usahanya dengan berjualan kopi keliling bahkan menjelajah sampai keluar daerah. Kami tinggal didaerah dataran tinggi yang cukup jauh dari pusat kota dan dikenal dengan cuacanya yang dingin membuat daerah kami sangat cocok untuk bercocok tanam. Sebagai daerah bergeografis dataran tinggi, selain sayur mayur, kopi menjadi komoditas unggulan di daerah tersebut. Bapak melihat potensi ini sehingga memilih kopi menjadi bisnisnya kala itu. 


Sekedar info:  kopi dari asal kami adalah kopi kualitas premium. Bahkan kopi asal daerah kami dari Siborong-borong saat ini telah masuk kepasar dunia. Kopinya nikmat.


Kehidupan sehari-hari didaerah saya adalah bertani. Sayangnya kehidupan itu sudah dibatasi oleh kerja keras bapak sejak kecil. Entah dikatakan beruntung atau tidak, kata sebagian orang jangan hanya melihat perjalanannya tapi lihat endingnya. Bapak dan ibu membuat kami hidup enak dan santai. Anak-anak disibukkan pekerjaan rutin dari orang tuanya bahkan sebelum mereka berangkat sekolah, orang tua sudah memandatkan PR yang harus dikerjakan sepulang sekolah. Namun kami berbeda. Pulang sekolah terserah mau ngapain. Tidak ada penugasan yang mendetail. Semua dikerjakan atas kesadaran. Sadar tidak ada air lagi dirumah, sana pergi ambil air. Sadar tidak ada lagi kayu bakar untuk masak, pergi sana cari kayu bakar. Bukan lagi penugasan tapi kesadaran karena kebutuhan. Semua dikerjakan atas kebutuhan dan tanggungjawab. Kendati demikian kami juga sebenarnya kalau orang tua kami pulang, takut kalau tidak ada air bersih dirumah, takut saat mau masak kayu bakar tidak ada atau masih basah atau mentah. Takut kalau rumah berantakan dan peralatan makan kotor. Kami sangat takut bentakan bapak apalagi cubitan emak😂. Tapi bagi kami sosok bapak sangat disegani. 
Anda tahu? Antara ditakuti atau disegani, kami takut kalau bapak bersuara😂😆. 


 Setelah bapak memutuskan berbisnis, kehidupan bertani itu terkikis dari kehidupan saya pribadi. Berbeda dengan abang-abang yang masih sempat diajak ke sawah dan berkebun. Kalaupun saya keladang itu hanya sisa dari perjuangan mereka. Yah, sekedar memperkenalkan pada kami sosok bumi Pertiwi dan visimaxxnya (visi maksimal - tujuan jangka panjang) untuk memperkenalkan firman Tuhan walaupun sebenarnya bapak emak tidak sadar akan visi mereka. Karena suatu masa, belajar bertani menjadi ilmu yang mahal dan kami sudah diperkenalkan dan dibekali dengan pengalaman itu. 

Wahyu 9:4
Dan kepada mereka dipesankan, supaya mereka jangan merusakkan rumput-rumput di bumi atau tumbuh-tumbuhan ataupun pohon-pohon, melainkan hanya manusia yang tidak memakai meterai Allah di dahinya. 


Kami diajari bertani diwaktu senang dan diwaktu susah.

Perjuangan dan kerja keras bapak membuahkan hasil. Setelah sukses mengumpulkan modal untuk membeli mobil, jualan kopi akhirnya ia tinggalkan. Bapak memilih melanjutkan usahanya dengan jualan jenis sayur-mayur ke daerah yang lebih jauh. Kepaknya dilebarkan untuk menghalau badai kemisikinan. Dari usaha ini aset keluarga pun bertambah. Akhirnya bertani bukan lagi rutinitas kami. Kalaupun sesekali ke ladang hanya untuk mengisi kekosongan dan mengusahakan lahan kosong karena pengelolaan kebanyakan dikelola oleh orang luar, kami menjadi seolah anak manja tapi sebenarnya bukan. Apalagi sejak bapak sama emak jarang dirumah karena fokus berbisnis diluar kota yang hanya 2-3 kali seminggu pulang kerumah itupun hanya sebentar membuat kami bukan lagi dipaksa harus kerja banting- bantingan seperti anak seusia kami pada saat itu.


Kala itu kan jaman Suharto, jaman itu kehidupan sangat terbatas. Susah. Aneh aja jaman milenial ini masih ingin kembali ke jaman itu. Ingat dulu, jaman itu belum ada penerangan atau listrik. Televisi pun sangat jarang. Saat itu hanya kami yang punya tv sekampung. Bayangkan sekampung hanya cuma ada satu tok tv. Jadi kalau sudah jelang malam mereka datang kerumah untuk menonton. Motor? Wih jarang sekali. Kalau orang sudah punya motor, itu sudah kategori orang kaya. Gimana kalau sudah punya mobil? Sudah sangat kaya itu. Sekarang saja gampang buat dapatin mobil. Tapi sayangnya saya kayaknya masih susah tapi bukan tidak mungkin🤔.


Dijaman Suharto bapak sudah punya 2 coltdiesel. Tahukan itu apa Colt Diesel? Orang kampung saya menyebut mobil Truk double dengan sebutan truk Colt diesel. Itu truk keluaran Mitsubishi ya. Jadi saat itu bapakku cukup terkenal karena profesinya sebagai toke sayur.
Kalau kami mau mengenalkan diri kami supaya cepat orang tahu kami cukup bilang "anaknya par Hendra" jaman itu rata-rata orang kenal. Kalau menyebut itu pasti orang ingat "anak toke sayur".



Nama keluarga kami saat bapak masih ada sangat harum, wangi semerbak. Tawon diujung kulon (majas hiperbola atau perumpamaan saja) bisa datang karena mencium aroma bapak yang wangi semerbak. Ibuku dan bapakku yang tidak sombong, membuat kami banyak didatangi orang. Kayak lagi musim bunga lebah pada datang mencari sarinya. Ingin minum darinya. Yang tidak ada ikatan pertalian bisa jadi dekat. Bisa dianggap saudara. Namun bukan berarti jadi sahabat. Mudah mengikat pertemanan dengan uang... Ooo gampang sangat. Tetapi menjadi sahabat itu tidak gampang Fernando.




Semua ada masanya...


 Untuk segala sesuatu ada masanya, untuk apa pun di bawah langit ada waktunya. 
Ada waktu untuk lahir, ada waktu untuk meninggal, ada waktu untuk menanam, ada waktu untuk mencabut yang ditanam;
ada waktu untuk membunuh, ada waktu untuk menyembuhkan; ada waktu untuk merombak, ada waktu untuk membangun; 
ada waktu untuk menangis, ada waktu untuk tertawa; ada waktu untuk meratap; ada waktu untuk menari; 
ada waktu untuk membuang batu, ada waktu untuk mengumpulkan batu; ada waktu untuk memeluk, ada waktu untuk menahan diri dari memeluk;
ada waktu untuk mencari, ada waktu untuk membiarkan rugi; ada waktu untuk menyimpan, ada waktu untuk membuang;
ada waktu untuk merobek, ada waktu untuk menjahit; ada waktu untuk berdiam diri, ada waktu untuk berbicara; 
ada waktu untuk mengasihi, ada waktu untuk membenci; ada waktu untuk perang, ada waktu untuk damai. 
Apakah untung pekerja dari yang dikerjakannya dengan berjerih payah? 
Aku telah melihat pekerjaan yang diberikan Allah kepada anak-anak manusia untuk melelahkan dirinya. 
Ia membuat segala sesuatu indah pada waktunya, bahkan Ia memberikan kekekalan dalam hati mereka. Tetapi manusia tidak dapat menyelami pekerjaan yang dilakukan Allah dari awal sampai akhir.
Aku tahu bahwa untuk mereka tak ada yang lebih baik dari pada bersuka-suka dan menikmati kesenangan dalam hidup mereka.
Dan bahwa setiap orang dapat makan, minum dan menikmati kesenangan dalam segala jerih payahnya, itu juga adalah pemberian Allah.
Aku tahu bahwa segala sesuatu yang dilakukan Allah akan tetap ada untuk selamanya; itu tak dapat ditambah dan tak dapat dikurangi; Allah berbuat demikian, supaya manusia takut akan Dia.
Yang sekarang ada dulu sudah ada, dan yang akan ada sudah lama ada; dan Allah mencari yang sudah lalu. 
Pengkhotbah 3:1-15 (TB) 

Semua ada masanya.....

Tentang kehidupan selalu mengalami perubahan dan perombakan silih berganti. Sebab dalam hidup yang tetap tinggal adalah Firman Tuhan dan perubahan itu sendiri. Disaat perubahan dan perombakan itu terjadi apa yang tersisihkan yang tinggal tetap?


Aku melihat bukan hanya bapak yang punya visi maksimal (visimaxx) bagi kami. Begitupun kakek nenek meninggalkan warisan dan visi yang bahkan mereka tidak menyadarinya. Sebuah kehidupan yang penuh warna mereka torehkan untuk kami nikmati. Nenekku (ia yang masih hidup yang masih aku kenal saat itu) meninggalkan ketajaman pandangan untuk melihat dari makna sebuah visi. Beberapa kali aku menceritakan kisahku dan selalu mengangkat nenek sebagai orang yang visioner.


Mungkin ada yang masih penasaran, apa sih visi yang nenek torehkan bagi kemajuan pengetahuan saya? 
Berawal dari sebuah kisah kebun kopi.


Kisah kebun kopi...

Nenek punya sebidang kebun kopi yang berada persis dibelakang rumah disebelah barat. Tidak luas mungkin sekitar 1 ha. Kebun ini yang mengajarkan saya tentang visi dari sebuah apa yang dikerjakan dimasa kini untuk masa mendatang. Nama nenekku yang aku tahu : Tamar, ia berasal dari garis keturunan marga Manalu. Orangnya cerewet.


Ia bukan seorang guru, ia hanya seorang orang tua, ibu dari bapak. Yang semasa hidupnya tinggal dirumah orang tua kami. Ia mengasuh kami semasa kecil dan orang tuaku mengasuh dia semasa tua. Pertukaran dan kehidupan yang relevan.


Selama ia tinggal bersama kami, kami yang mengurus kebun kopinya sekaligus menjadi warisan bagi bapak sebagai anak keduanya. Saya melihat ini kecakapan insting kepada siapa dan untuk apa. Saya senang bermain dilahan nenek ini walaupun setiap kali harus mendengar  jeritannya yang menembus beberapa tembok perbatasan sebagai larangan supaya tidak mengambil apa-apa dari sana😆. Di kebun ini tersedia buah-buahan. Ini merupakan sekaligus investasi bagi luwak atau tupai. Mereka selalu dikenyangkan dengan kebaikan nenek dari sana.


Dilahan inilah saya seperti monkey memanjat naik turun sambil berayun lompat sana lompat sini bak monyet dengan kecepatannya entah berapa. Kebahagiaan masa kanak-kanak lebih banyak dihabiskan ditempat ini. Ini kutipan dari saya untuk kamu pembaca setia dan Budiman:

Orang yang bahagia itu  atau yang selalu terjaga kebahagiaannya berpikir lebih cerdas, lebih mudah mengatasi masalahnya, lebih fleksibel, bertanggungjawab, berkarakter, lebih berpikir positif daripada negatif, lebih kritis dan lebih aktif

Jadi anak-anak yang suka bermain, berekspresi dan bereksperimen itu natural bangat sebagai pembentukan karakter, imajinasi dan membantu mereka kelak dewasa menentukan sikap yang baik. Dukungan yang disediakan keluarga adalah potensi besar anak akan menjadi seperti apa nantinya. Dan jangan lihat pencapaian anak sebatas harta dan martabat. Itu terlalu duniawi. Beri dia tempat untuk menemukan kebahagiaannya. Supaya mereka bertemu dengan sorganya ketika ada di dunianya.


Tuhan mengaruniakan bagi aku suatu garis keturunan dan suku dari mana aku berasal. Sekalipun aku tidak mendapatkan sesuai apa yang aku pikirkan dan telah aku minta namun dibesarkan dari keluarga yang sangat jelas itu sebuah proxy untuk mengenalkan arti sebuah kehidupan. Aku tidak terlahir dari keluarga kaya ataupun bangsawan, namun pengetahuan dan pengalaman yang diwariskan oleh nenek moyangku, orang tuaku dan dipertegas dengan pengenalan ku dengan Yesus Kristus Tuhanku itu memberikan aku highlight tersendiri.
Itulah aku mengambil topik ini berharap menjadi sebuah penjelasan terperinci dan tentunya bermanfaat bagi banyak orang. 


Aku membawa kebahagiaan itu dari sewaktu kecil dan pengaruhnya hingga kini. Dan aktor dibalik kebahagiaan itu adalah nenek moyangku dan orang tuaku. Aku terlahir pun, kebahagiaan itu sudah tersedia dihadapan ku. Wah visioner sekali. Atas nama kebahagiaan aku tuliskan ini buat pembacaku yang Budiman dan satiman tetaplah bahagia walaupun masalah menghadangmu.

Kebahagiaan itu tidak bicara kemewahan namun kesederhanaan yang berdampak kehati. Jangan pikirkan perkara yang tinggi, tetapi arahkanlah dirimu kepada perkara-perkara sederhana. Roma 12:16


Kebahagiaan itu sebuah kunci. Mau melakukan apa-apa pastikan kamu lagi bahagia karena bahagia itu seperti sebuah pantulan cahaya yang memberikan efek. Manfaat yang orang lain belum tentu miliki. Tidak perlu menjadi matahari, menjadi lilin saja kamu sudah bermakna.



Warisan Bapakku, Kerinduan Yang Mendalam dan Cita-cita Yang Terpendam

Tidak terlahir dari keluarga kaya, tinggal dirumah sederhana tidak membuatku orang yang minder dan orang yang selalu meratapi nasib. Meskipun diperjalanan hidup kami, pernah menikmati menjadi orang kaya. Setidaknya sudah pernah mengecap bagaimana rasanya menjadi orang kaya, disegani dan dihormati. Supaya sekiranya ada yang sengaja pamer kesombongan karena sudah menjadi kaya, aku dapat berkata pada diriku: aku pernah ada diposisi itu. Aku tahu itu apa kekayaan dan aku tahu itu apa kemiskinan. Aku tahu apa itu kecukupan aku tahu juga apa itu kekurangan. Kedua-duanya aku sudah pernah ada disana. Namun kesemuanya itu tidak ada yang abadi. Waktu akan merubah semuanya sesuai dengan porsinya. Aku bersyukur dengan banyak pengalaman sehingga orang tidak bisa berkata: kamu tidak tahu ini, dan kamu tidak tahu itu.


Tuhan memberikan perjalanan yang berwarna padaku supaya aku bisa menilai dari apa yang ada dihadapanku serta bisa memutuskan apa yang harus aku perbuat. Bagiku pengalaman adalah guru yang baik. Sikap hati menjadi pedoman karena belajar dari pengalaman.


Dalam ketidak-abadian itu pula aku merumuskan banyak hal dalam hidup ini demi mencapai sebuah masa depan. Nenekku menyediakan sebuah fasilitas kebahagiaan disaat aku belum dan tidak mengerti apa-apa tentang itu. Namun ketidak mengertianku dulu itu, justru sekarang aku memahaminya Dan kebahagiaan itu turut serta mengaktifkan potensi yang Tuhan talenta-kan kepadaku. 


Sejak kematian bapakku, aku telah kehilangan banyak kesempatan. Beliau menitipkan satu cita-cita dalam hidupku yang sampai kini belum tercapai. Walau terpendam tapi tidak tahu siapa yang akan menggalinya. Berjuang keras di pintu yang berbeda untuk menembus maksud cita-cita itu. Soalnya banyak pintu di sekeliling kita, bukan? Pintu mana (kira-kira) yang membawa kita masuk, itu poinnya. Aku hanya dapat menikmati kekayaannya disaat aku tidak mengerti fungsi kekayaan buat apa. Aku tidak tahu untuk apa kekayaan itu pernah ada pada kenyataannya tidak bisa membeli cita-citaku supaya ada padaku atau sekedar memperbaiki kondisi ekonomi. Setidaknya bapakku bisa merasakan hasil dari cita-citanya itu. Kekayaan itu hanya pengalaman...

Woiiii.... Ingat...

Kekayaaan itu hanya pengalaman kalau tidak membuatmu tidak jadi lebih baik.


Waktu terus berlalu. Semuanya hanya berakhir dalam ingatan, berharap nanti anakku bisa menerima gelar dari cita-cita mendiang kakeknya. Tiba diujung kesedihan, memori bapak tercinta terbersit jelas dipelupuk mata. Sesekali air mata jatuh tidak tertahankan. Sambil berguman dalam hati: seandainya bapak masih ada ya setidaknya sampai meraih cita-cita mungkin hidup tak sesulit ini.


Cita-cita itu tidak kesampaian namun jangan biarkan dirimu lelah memikirkannya, apa yang sudah berlalu yang tidak mungkin bisa diulang kembali. Yang bisa dilakukan hanya menata ulang properti hidupmu supaya tidak mengalami degradasi. Berpangku tangan tidak menyelesaikan masalah. Lebih baik sibukkan diri walau hanya menuliskan sebuah memorandum. 


Penulis ini lelah, saatnya istirahat dulu sejenak ya sahabat blogku. Sampai jumpai di tulisan berikutnya>>>>


Post a Comment for "Warisan Bapakku: Cita-cita Belum Tercapai"