Warisan Bapakku: Cita-cita Belum Tercapai
Hari ini aku goreskan tulisan ini sebagai tanda sayang sekaligus pengingat akan seorang bapak. Aku ingat bahwa aku pernah ada bapak yang mendampingi walau hingga batas usia remaja. Aku ingat bahwa aku pernah disayangi dan menjadi manusia utuh hari ini karena adanya peran dan serta bapak dalam merintis membesarkan aku dengan penuh kasih sayang. Bapakku adalah pelopor hidupku pertama didunia ini sebagai perpanjangan tangan Tangan Tuhan dalam merawat dan memberi pendidikan. Walau belum pernah menjadi motivator karena usianya terbilang pendek. Bapak terbilang mati muda dan aku masih remaja di tinggal pergi. Belum mengerti dan mengalami banyak peran sosok bapak dalam pencapaian hidup.
Saat itu usiaku sekitar 18 tahun, beliau berjuang dengan penyakit yang menyerang tubuhnya. Saya yakin dengan berat hati ia harus meninggalkan kami dalam kelam. Tapi jalan hidupnya harus seeperti itu untuknya dan untuk kami sebagai pusat kebanggaannya. Aku tahu bapak adalah seorang pejuang hebat, gigih dalam bekerja. Entah bagaimana ia mengawali semuanya dan akhirnya menjadi seperti ini.
Atas kerja keras dan pencapaiannya kala hidupnya, membuatnya jadi tersohor didaerahnya. Tak pelak berkat kegigihannya tersebut mengantarkan kami kepada kebebasan finansial dan terbilang mapan. Menikmati masa remaja kala itu terbilang enak (itu bagi saya). Dan itu semua atas berkat Tuhan dan kerja keras kedua orang tua dan termasuk dari salah satu saudara kandung. Menurut abang-abangku, bapakku merintis usaha dimulai dari nol hingga bisa menangani bisnis keluarga yang terbilang maju. Walaupun abang-abang, sebelum memulai usaha mereka masih mengalami kesusahan, bahkan saat-saat mulai merintis, pada kenyataannya mereka bisa hidup lebih baik setelah melewati masa transisi itu. Mengapa saya bilang mereka? Di usia kanak-kanak saya tidak mengalami seperti yang mereka alami. Setelah tahu dengan uang, ya udah enak saja kitanya mah. Tinggal minta, pasti dikasih. Abangkulah yang merasakan sakitnya diawal merintis usaha tersebut. Itu dari cerita mereka.
Bapak memulai usahanya dengan berjualan kopi keliling bahkan menjelajah sampai keluar daerah. Kami tinggal didaerah dataran tinggi yang cukup jauh dari pusat kota dan dikenal dengan cuacanya yang dingin membuat daerah kami sangat cocok untuk bercocok tanam. Sebagai daerah bergeografis dataran tinggi, selain sayur mayur, kopi menjadi komoditas unggulan di daerah tersebut. Bapak melihat potensi ini sehingga memilih kopi menjadi bisnisnya kala itu.
Kehidupan sehari-hari didaerah saya adalah bertani. Sayangnya kehidupan itu sudah dibatasi oleh kerja keras bapak sejak kecil. Entah dikatakan beruntung atau tidak, kata sebagian orang jangan hanya melihat perjalanannya tapi lihat endingnya. Bapak dan ibu membuat kami hidup enak dan santai. Anak-anak disibukkan pekerjaan rutin dari orang tuanya bahkan sebelum mereka berangkat sekolah, orang tua sudah memandatkan PR yang harus dikerjakan sepulang sekolah. Namun kami berbeda. Pulang sekolah terserah mau ngapain. Tidak ada penugasan yang mendetail. Semua dikerjakan atas kesadaran. Sadar tidak ada air lagi dirumah, sana pergi ambil air. Sadar tidak ada lagi kayu bakar untuk masak, pergi sana cari kayu bakar. Bukan lagi penugasan tapi kesadaran karena kebutuhan. Semua dikerjakan atas kebutuhan dan tanggungjawab. Kendati demikian kami juga sebenarnya kalau orang tua kami pulang, takut kalau tidak ada air bersih dirumah, takut saat mau masak kayu bakar tidak ada atau masih basah atau mentah. Takut kalau rumah berantakan dan peralatan makan kotor. Kami sangat takut bentakan bapak apalagi cubitan emak😂. Tapi bagi kami sosok bapak sangat disegani.
Wahyu 9:4
Dan kepada mereka dipesankan, supaya mereka jangan merusakkan rumput-rumput di bumi atau tumbuh-tumbuhan ataupun pohon-pohon, melainkan hanya manusia yang tidak memakai meterai Allah di dahinya.
Kami diajari bertani diwaktu senang dan diwaktu susah.
Perjuangan dan kerja keras bapak membuahkan hasil. Setelah sukses mengumpulkan modal untuk membeli mobil, jualan kopi akhirnya ia tinggalkan. Bapak memilih melanjutkan usahanya dengan jualan jenis sayur-mayur ke daerah yang lebih jauh. Kepaknya dilebarkan untuk menghalau badai kemisikinan. Dari usaha ini aset keluarga pun bertambah. Akhirnya bertani bukan lagi rutinitas kami. Kalaupun sesekali ke ladang hanya untuk mengisi kekosongan dan mengusahakan lahan kosong karena pengelolaan kebanyakan dikelola oleh orang luar, kami menjadi seolah anak manja tapi sebenarnya bukan. Apalagi sejak bapak sama emak jarang dirumah karena fokus berbisnis diluar kota yang hanya 2-3 kali seminggu pulang kerumah itupun hanya sebentar membuat kami bukan lagi dipaksa harus kerja banting- bantingan seperti anak seusia kami pada saat itu.
Kala itu kan jaman Suharto, jaman itu kehidupan sangat terbatas. Susah. Aneh aja jaman milenial ini masih ingin kembali ke jaman itu. Ingat dulu, jaman itu belum ada penerangan atau listrik. Televisi pun sangat jarang. Saat itu hanya kami yang punya tv sekampung. Bayangkan sekampung hanya cuma ada satu tok tv. Jadi kalau sudah jelang malam mereka datang kerumah untuk menonton. Motor? Wih jarang sekali. Kalau orang sudah punya motor, itu sudah kategori orang kaya. Gimana kalau sudah punya mobil? Sudah sangat kaya itu. Sekarang saja gampang buat dapatin mobil. Tapi sayangnya saya kayaknya masih susah tapi bukan tidak mungkin🤔.
Dijaman Suharto bapak sudah punya 2 coltdiesel. Tahukan itu apa Colt Diesel? Orang kampung saya menyebut mobil Truk double dengan sebutan truk Colt diesel. Itu truk keluaran Mitsubishi ya. Jadi saat itu bapakku cukup terkenal karena profesinya sebagai toke sayur.
Kalau kami mau mengenalkan diri kami supaya cepat orang tahu kami cukup bilang "anaknya par Hendra" jaman itu rata-rata orang kenal. Kalau menyebut itu pasti orang ingat "anak toke sayur".
Nama keluarga kami saat bapak masih ada sangat harum, wangi semerbak. Tawon diujung kulon (majas hiperbola atau perumpamaan saja) bisa datang karena mencium aroma bapak yang wangi semerbak. Ibuku dan bapakku yang tidak sombong, membuat kami banyak didatangi orang. Kayak lagi musim bunga lebah pada datang mencari sarinya. Ingin minum darinya. Yang tidak ada ikatan pertalian bisa jadi dekat. Bisa dianggap saudara. Namun bukan berarti jadi sahabat. Mudah mengikat pertemanan dengan uang... Ooo gampang sangat. Tetapi menjadi sahabat itu tidak gampang Fernando.
Semua ada masanya...
Kisah kebun kopi...
Orang yang bahagia itu atau yang selalu terjaga kebahagiaannya berpikir lebih cerdas, lebih mudah mengatasi masalahnya, lebih fleksibel, bertanggungjawab, berkarakter, lebih berpikir positif daripada negatif, lebih kritis dan lebih aktif
Kebahagiaan itu tidak bicara kemewahan namun kesederhanaan yang berdampak kehati. Jangan pikirkan perkara yang tinggi, tetapi arahkanlah dirimu kepada perkara-perkara sederhana. Roma 12:16
Kebahagiaan itu sebuah kunci. Mau melakukan apa-apa pastikan kamu lagi bahagia karena bahagia itu seperti sebuah pantulan cahaya yang memberikan efek. Manfaat yang orang lain belum tentu miliki. Tidak perlu menjadi matahari, menjadi lilin saja kamu sudah bermakna.
Warisan Bapakku, Kerinduan Yang Mendalam dan Cita-cita Yang Terpendam
Tidak terlahir dari keluarga kaya, tinggal dirumah sederhana tidak membuatku orang yang minder dan orang yang selalu meratapi nasib. Meskipun diperjalanan hidup kami, pernah menikmati menjadi orang kaya. Setidaknya sudah pernah mengecap bagaimana rasanya menjadi orang kaya, disegani dan dihormati. Supaya sekiranya ada yang sengaja pamer kesombongan karena sudah menjadi kaya, aku dapat berkata pada diriku: aku pernah ada diposisi itu. Aku tahu itu apa kekayaan dan aku tahu itu apa kemiskinan. Aku tahu apa itu kecukupan aku tahu juga apa itu kekurangan. Kedua-duanya aku sudah pernah ada disana. Namun kesemuanya itu tidak ada yang abadi. Waktu akan merubah semuanya sesuai dengan porsinya. Aku bersyukur dengan banyak pengalaman sehingga orang tidak bisa berkata: kamu tidak tahu ini, dan kamu tidak tahu itu.
Tuhan memberikan perjalanan yang berwarna padaku supaya aku bisa menilai dari apa yang ada dihadapanku serta bisa memutuskan apa yang harus aku perbuat. Bagiku pengalaman adalah guru yang baik. Sikap hati menjadi pedoman karena belajar dari pengalaman.
Dalam ketidak-abadian itu pula aku merumuskan banyak hal dalam hidup ini demi mencapai sebuah masa depan. Nenekku menyediakan sebuah fasilitas kebahagiaan disaat aku belum dan tidak mengerti apa-apa tentang itu. Namun ketidak mengertianku dulu itu, justru sekarang aku memahaminya Dan kebahagiaan itu turut serta mengaktifkan potensi yang Tuhan talenta-kan kepadaku.
Sejak kematian bapakku, aku telah kehilangan banyak kesempatan. Beliau menitipkan satu cita-cita dalam hidupku yang sampai kini belum tercapai. Walau terpendam tapi tidak tahu siapa yang akan menggalinya. Berjuang keras di pintu yang berbeda untuk menembus maksud cita-cita itu. Soalnya banyak pintu di sekeliling kita, bukan? Pintu mana (kira-kira) yang membawa kita masuk, itu poinnya. Aku hanya dapat menikmati kekayaannya disaat aku tidak mengerti fungsi kekayaan buat apa. Aku tidak tahu untuk apa kekayaan itu pernah ada pada kenyataannya tidak bisa membeli cita-citaku supaya ada padaku atau sekedar memperbaiki kondisi ekonomi. Setidaknya bapakku bisa merasakan hasil dari cita-citanya itu. Kekayaan itu hanya pengalaman...
Woiiii.... Ingat...
Kekayaaan itu hanya pengalaman kalau tidak membuatmu tidak jadi lebih baik.
Waktu terus berlalu. Semuanya hanya berakhir dalam ingatan, berharap nanti anakku bisa menerima gelar dari cita-cita mendiang kakeknya. Tiba diujung kesedihan, memori bapak tercinta terbersit jelas dipelupuk mata. Sesekali air mata jatuh tidak tertahankan. Sambil berguman dalam hati: seandainya bapak masih ada ya setidaknya sampai meraih cita-cita mungkin hidup tak sesulit ini.
Cita-cita itu tidak kesampaian namun jangan biarkan dirimu lelah memikirkannya, apa yang sudah berlalu yang tidak mungkin bisa diulang kembali. Yang bisa dilakukan hanya menata ulang properti hidupmu supaya tidak mengalami degradasi. Berpangku tangan tidak menyelesaikan masalah. Lebih baik sibukkan diri walau hanya menuliskan sebuah memorandum.
Penulis ini lelah, saatnya istirahat dulu sejenak ya sahabat blogku. Sampai jumpai di tulisan berikutnya>>>>
Post a Comment for "Warisan Bapakku: Cita-cita Belum Tercapai"